Breaking News

Sejenak Merenungi 17 tahun Perdamaian Aceh, Arti MoU Helsinki di Tengah Himpitan Kemiskinan

 



Aceh, RADARJAKARTA.NET— 

Pasca penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) 17 tahun lalu di Helsinki (Polandia), antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hingga detik ini, realitas pembangunan di provinsi ujung Barat Indonesia tersebut masih jauh dari kata sejahtera.


Hal ini bisa terlihat dari statistik pembangunan, dimana Aceh masuk kategori provinsi termiskin se-Sumatera. 


Padahal isi kandungan MoU yang di tandatangani di Helsinki oleh Pemerintah RI Dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), jelas menekankan adanya pemerataan pembangunan bagi provinsi bergelar "Serambi Mekah" tersebut.


Aceh memiliki kewenangan dan kekhususan yang sangat besar di bandingkan Provinsi Indonesia lain. Mengapa Aceh di sebut daerah termiskin di pulau Sumatera..?? Apakah isi MoU tersebut tidak terealisasikan..!! Itu pertanyaan yang selalu menghantui di hati masyarakat Aceh.


Proses perdamaian 17 tahun, antara RI-GAM lahirkan kesepakatan komitmen kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua.


Sejak saat itu, tonggak sejarah perjalanan Aceh sebagai daerah yang miliki keistimewaan, menandai perubahan, dari sebelumnya status darurat militer menjadi daerah damai.


Cita-cita perdamaian yang terpendam selama berabad-abad, akhirnya tergapai berkat kegigihan perjuangan para tokoh Aceh. 


Cita-cita Tokoh Aceh ...


Perdamaian bukanlah suatu tujuan akhir. Ideologi negara juga mengamanatkan tujuan negara, yaitu mewujudkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.


Namun, jika kita melihat kondisi kekinian, kita perlu sejenak merenung dan bertanya, sudakah daerah kita damai terhadap rakyat jelata..?? Sudah barang tentu jadi pertanyaan sulit untuk di jawab.


Salah satunya dapat dilihat dari Problematika angka pengangguran tinggi serta tidak adanya lowongan kerja. Sehingga Rakyat Aceh  menjadi TKI, berkerja di tanah orang. Tidak sedikit masyarakat Aceh menjadi TKW di negri jiran. Masih tingginya angka kemiskinan, menghambat terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. 


Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pada Maret 2021–September 2021, persentase penduduk miskin di Aceh naik dari 15,33 persen, menjadi 15,53 persen. Di daerah perdesaan, naik 0,26 poin (dari 17,78 persen menjadi 18,04 persen), sedangkan di perkotaan, persentase penduduk miskin naik sebesar 0,12 poin (dari 10,46 persen menjadi 10,58 persen).  (Serambi Indonesia, 2/2).


Hingga saat ini upaya untuk menurunkan angka kemiskinan adalah masalah utama Aceh. Kemiskinan di Aceh bisa di atasi, apabila dana otonomi khusus (otsus) di kelola dengan benar.


Persoalan kemiskinan di Aceh di sumbang oleh persoalan tata kelola pembangunan di daerah. Seharusnya pembangunan di sana bisa di fokuskan untuk memenuhi kebutuhan mayoritas masyarakat di Aceh.


Namun, upaya program-program pengentasan kemiskinan belum berjalan secara optimal. Masih terdapat tumpang-tindih antar Pemrov dan DPRA yang tidak fokus mempercepat program pengentasan kemiskinan.


Kadang pemerintah daerah kurang tahu apa kebutuhan masyarakat. Permasalahan tumpang tindih program ini yang menghambat pengentasan kemiskinan.


Masih tingginya angka kemiskinan dan bermacam masalah yang ada di Aceh menunjukkan MoU Helsinki belum terealisasikan, belum di rasakan sampai saat ini.


Masih banyak masyarakat di negeri ini yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu, menjelang peringatan Perdamaian Aceh ke 68, di perlukan semangat juang.


Semangat tersebut di ikuti dengan langkah-langkah yaitu, pertama, pemerintah daerah mensinergikan program-program pengentasan kemiskinan, baik di tingkat  daerah. Kedua, DPR RI dan Kelompok Masyarakat Sipil mengawasi APBN/D serta otonomi khusus yang tidak pro-poor. Ketiga, Polri, Jaksa, dan KPK menjadikan pemberantasan korupsi sebagai prioritas guna menciptakan keadilan masyarakat.


Penulis :Penulis : Muhammad Rifqi Maulana 

(Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Aceh) dan (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang)



(Rilis/ES)

Tidak ada komentar