Selain Bekali Bela Diri,Pertahanan dan Militer Kerajaan Raya,Orang Gayo Ikut Berjuang Lawan Belanda di Simalungun.
Aceh Tengah-
Pusat Kajian Kebudayaan Gayo menggelar bincang “Peran Orang Gayo Menghadapi Kolonialisme Belanda di Sumatera” dengan narasumber Johan Wahyudi, M.Hum., Dosen Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Johan Wahyudi juga meneliti “Peradaban Islam Awal di Aceh Tengah: Studi Atas Kerajaan Linge Abad XI-XIV.” Termasuk, menulis buku “Sejiran Tak Sejalan: Diplomasi Kesultanan Aceh dengan Johor Abad XVI-XVII” (Mahara Publishing, 2016) serta mengeditori buku “Sejarah Aceh” di Yayasan Tun Sri Lanang, Jakarta (2011-2012) dan editor buku “Sejarah Awal Islam di Gayo Abad XI-XIV" yang ditulis sejarawan Prof. Dr. M. Dien Madjid (Mahara Publishing, 2020).
“Saya dan Prof. M. Dien Madjid menemukan detail kecil dari kisah Tuan Rondahaim, calon pahlawan nasional dari Simalungun, Sumatera Utara, yang rupanya sangat berkesan, dari arsip-arsip lama berbahasa Belanda. Saya saja yang bukan orang Gayo sangat terkesan. Ternyata, orang-orang Gayo itu, meskipun mereka juga tinggal di pendalaman, pegunungan, Dataran Tinggi Gayo, tapi koneksinya, ruang jelajahnya sangat luas sekali,” kata Johan Wahyudi, dalam bincang ke-25 Pusat Kajian Kebudayaan Gayo yang digelar secara daring dan dimoderatori Yusradi Usman al-Gayoni, Senin malam (2/8/2022).
Tuan Rondahaim, Raja Kerajaan Raya Simalungun, menurut catatan Belanda, jelasnya, sempat ke Aceh. Di tengah perjalanan pulang, Tuan Rondahaim mampir dan berkunjung ke Dataran Tinggi Gayo. Di sana, dia berguru bela diri. “Tapi, saya belum cross check lebih jauh, apakah di Tanah Gayo ada silat-silat tertentu. Jurus-jurus yang memang hanya dikuasai orang Gayo sendiri atau mungkin ada pengaruh dari Aceh. Itu kita belum ada penelitian lebih lanjut secara spesifik,” sebut Johan.
Biasanya, sambungnya, kalau di Tanah Sumatera yang terkenal silatnya orang-orang Minang. Silat ala Minang sangat terkenal. Tapi, dalam catatan Belanda, disebutkan orang Gayo, orang Alas, dan orang Aceh pandai dalam ilmu bela diri. Termasuk, ilmu perang. “Ini saya kira memantik rasa penasaran kita, apakah memang ada peninggalan genuine, peninggalan asli dari orang-orang Gayo, berupa ilmu pengetahuan bela diri atau seni bela diri. Kalau di tanah Betawi, terkenal, Beksi. Jenis-jenis silat, seperti yang ada di Condet. Jawa timur, ada Terate Setia Hati. Apakah di Gayo ada silat seperti itu. Saya kira menjadi pekerjaan rumah kita bersama,” tutur Johan.
Menurutnya, kalau sampai bisa mendokumentasikan, ada ilmu pengetahuan di bidang bela diri,yang memang asli milik orang Gayo, tentu jadi temuan yang luar biasa. “Nantinya, bisa dieksplorasi dan bisa dikembangkan jadi kajian yang spesifik. Bahkan, berpikir ke depan, bisa dikembangkan untuk kepentingan pariwisata dan kedaerahan,” pungkas Johan.
Pada akhirnya, terang Johan, Raja Rondahaim mendatangkan orang-orang Gayo, orang Alas, dan orang Aceh ke Raya, Simalungun. “Mereka diberi tugas untuk mementori, mengajarkan ilmu bela diri, ilmu pertahanan, ilmu militer kepada pasukan-pasukan Raya, yang saat itu memang sudah berselisih dengan pemerintah kolonial Belanda yang ada di sekitar Tebing Tinggi. Pasukan Belanda sudah mulai bersiap, ingin melakukan ekspansi, pendudukan kawasan pedalaman Sumatera bagian utara, tanah Batak. Jumlah orang Gayo yang didatangkan dari Gayo puluhan orang. Setelah itu, pasukan Raya sudah siap untuk bertempur, termasuk orang Gayo, ikut berjuang menghadapi militer kolonial Belanda. Pada akhirnya, Belanda tidak mampu menguasai Kota Simalungun,” sebut Johan.
Aharuddin.
Tidak ada komentar