Citayam Fashion Week: Ruang Ekspresi atau Tempat Pelarian..??? Dan Gagapnya Pemda Jakarta
JAKARTA, RADARJAKARTA.NET—
Oleh : Andre Vincent Wenas
Citayam Fashion Week, kreasi fashion atau mode macam apa yang di tampilkan di situ? Lalu ekspresi seni atau kebudayaan apa yang tergores lewat berbagai peristiwa di ruang publik dadakan itu?
Rupanya anak-anak muda yang di label sebagai “jamet” (jawa-metal) adalah inisiatornya. Ini anak-anak “kampung” dari tepian ‘the greater Jakarta’ (Jabodetabek) yang kebetulan mendapat akses langsung ke jantung ibukota lewat fasum KRL maupun MRT. Lokasinya memang di sekitaran stasiun Dukuh Atas-Sudirman.
Semasa administrasi pemerintahan daerah Ahok-Djarot lalu, sekitaran kawasan itu di buat taman kota kecil di mana publik bisa duduk-duduk dan bercengkerama. Di barengi kemudahan akses dari dan ke wilayah periferi dengan KRL (BoDeTaBek) maupun dari utara ke selatan Jakarta via moda MRT, maka jadilah Dukuh Atas-Sudirman ini semacam ‘meeting-point’ (tempat pertemuan) yang cukup strategis serta ‘melting-pot’ (tempat bercampurnya) berbagai kalangan.
Sebulan belakangan ini sektor Dukuh Atas-Sudirman ini di klaim oleh sementara pihak jadi arena ekspresi anak-anak muda dari berbagai kalangan. Judulnya memang Citayam Fashion Week (sebagai brand), namun isinya gado-gado, campur ketoprak, campur pizza, campur hotdog, campur Starling (starbuck keliling) alias pengasong kopi-saset keliling dengan sepeda jengkinya.
Pokoknya campuran segala macam, tak ada partitur yang mengatur irama. Bebas, mengalir begitu saja. Semacam karnaval tanpa arak-arakan, cuma sekedar menyeberangi zebra-cross yang dikawal satpol-PP. Ada yang menyanyi, ngamen keliling, dan tentu saja ada yang berdagang. Semua gerak-gerik itu jadi tontonan ringan yang memang menghibur.
Peristiwa Citayam Fashion Week sudah lebih dari seminggu, jadi bukan Week lagi. Sudah di bulan kedua. Mungkin nama yang lebih pas adalah Fashion Month. Kalau terus bertahan tiga bulan bisa jadi Fashion Quarter. Kalau masih kuat sampai enam bulan bisa jadi Fashion Semester. Lalu apakah bakal bertahan setahun supaya bisa jadi Fashion Year? Citayam Fashion Year! Kita lihat saja…
Apakah ini sekedar gaya-gayaan (fad) saja, atau bakal jadi trend (jangka panjang) yang bisa menentukan arah, entah arah mode atau arah gaya hidup (lifestyle)? Atau cuma sekedar tempat “pelarian” (eskapisme) saja dari kejenuhan dan tekanan hidup.
Seperti banyak pengakuan mereka yang berasal dari pinggiran, datang lantaran bosan di rumah, keluarga broken-home, putus sekolah, lebih gampang dapat duit jika ikutan “nongkrong” (siapa tahu diajak kolaborasi dan dapat uang tips). Beberapa ada anak muda yang penampilannya “fashionable” namun ia tuna-aksara, tak bisa baca-tulis… namun aspirasinya adalah menjadi seorang content-creator!
Ini jadi semacam upaya pelarian (eskapis) yang entah apa ujungnya nanti. Tak jelas. Lantaran yang jelas hanya yang ada di depan mata saat ini dan di sini. Di mana sekaligus mereka dapat hiburan (merasa terhibur?) sambil bisa – walau sekejap – untuk melupakan “penderitaan” di rumah. Tidak menyelesaikan masalah memang, hanya sekedar mengungsi. Problem mendasarnya tetap ada.
Ya dangkal, dan sama sekali tidak visioner (melihat dan bepikir jauh ke depan). Tapi ya itulah jangkauan pikiran dari mereka yang putus sekolah. Lagi pula, apakah mereka yang dari “kaum berpunya” yang hadir di situ juga ambil pusing dengan latar belakang kehadiran “kaum tidak berpunya” yang duduk bersama mereka di beton taman “Haradukuh” itu?
Pertanyaan ini juga terarah pada otoritas, pemerintah daerah. Realitas sosial di Dukuh Atas itu nyata, bukan fatamorgana. Bagaimana mereka semestinya bersikap. Kebijakan antisipatif macam apa yang telah di produksi pemda? Bagaimana supaya dinamika kerumunan yang sudah, sedang dan akan terus terjadi itu bisa berdampak positif?
Nampaknya pemda masih gagap, tak tahu persis mesti bikin apa (dalam jangka pendek, menengah maupun panjang). Ini semestinya juga jadi pelajaran bagi pemda di daerahlainnya. Apa yang sudah mereka buat agar kaum muda di wilayahnya punya ruang publik yang cukup? Dimana mereka bisa berinteraksi positif, di lokasi yang gampang diakses, murah (bahkan gratis) serta aman dan nyaman (bersih).
Faktanya, ruang publik macam Dukuh Atas-Sudirman itu bisa mempertemukan kepentingan kedua kaum (the have and the have-not). Bahkan kepentingan kedua strata sosial itu bukan hanya bertemu, tapi malah berkolaborasi memproduksi konten medsos. Saling berkreasi dan memviralkan konten yang potensial bisa jadi komoditi virtual.
Aktivitas menonton dan di tonton ini bisa meluas bukan sekedar oleh mereka yang hadir (present) di locus Haradukuh itu, namun secara virtual bisa di tonton sampai ribuan bahkan jutaan orang via gawai nya masing-masing. Menembus ruang dan waktu.
Dan ini jadi menarik. Bayangkan, potensi jutaan penonton dengan flaksibilitas waktu menonton? Ini sebuah kuantitas pemirsa yang sangat bisa dikapitalisasi di marketplace (atau marketspace?).
Kapitalisme itu laksana karet busa yang bisa menyerap apapun, termasuk menghisap antitesisnya ke dalam pusaran konsumerisme.
28/07/2022,
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.
(Rilis/ES)
Tidak ada komentar