Ada 11 Sastra Lisan di Dataran Tinggi Gayo.
Aceh Tengah-
Sastra lisan adalah sastra yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga kebudayaan yang disampaikan turun menurun dengan ucapan. Biasanya, disampaikan pencerita kepada pendengar, demikian dikatakan LK Ara, narasumber Bincang Sastra Lisan Gayo Pusat Kajian Kebudayaan Gayo yang digelar melalui Zoom Meeting. “Masyarakat saling bertukar cerita. Cerita tersebut di tengah-tengah masyarakat,” kata LK Ara, Selasa (26/7/2022).
Dalam perbincangan yang langsung dimoderatori Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Gayo Yusradi Usman al-Gayoni dan MC Illyin Sari Nate (mahasiswi Ilmu Pemerintahan Universitas Syiah Kuala), LK Ara berpendapat, sastra lisan Gayo sebagai bagian dari sastra lisan Indonesia, sangat penting. “Sastra lisan Gayo mempunyai kekhasan tersendiri, karena daerah tempat tumbuhnya sastra lisan Gayo, masyarakat, bahasanya, dan ungkapan-ungkapannya yang khas itu berbeda dengan daerah lain,” sebutnya.
LK Ara lahir Kute Lintang Takengon Aceh Tengah tanggal 12 November 1937, sejak akhir tahun 1960-an, mulai mendokumentasikan sastra lisan Gayo, berpuisi, berkerja di media, aktif di teater dan satu di antaranya pendiri Teater Balai Pustaka, kemudian bekerja sampai pensiun di Balai Pustaka, menyusun/menulis seratusan judul buku, dan masih produktif menulis puisi di media sosial Facebook sampai sekarang, dan bahkan menginjak usianya 85 tahun, jadi YouTuber. “Selain 10 sastra lisan Gayo yang sudah dikenal selama ini, didong (perpaduan puisi, vokal dan gerak), kekeberen (dongeng, cerita), kekitiken (teka teki), melengkan (pidato adat), pantun, peribahasa, saer (syair), sebuku (seni meratap), tep onem (sindir menyindir), dan ure-ure (hampir sama seperti kekitiken), saya menambahkan satu lagi, mantra,” sebut penerima Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2019) tersebut.
Kekitiken, menurut LK Ara, luar biasa, pembuka akal, melatih berpikir. “Manfaatnya, salah satunya mempertajam daya ingat, mencari permasalahan, menimulkan pemikiran, mencari soal yang disampaikan. Orang Gayo mengungkapkan hal yang sederhana, tapi unik. Ini menarik, seperti ras ngang, keperas pangang, tikbus, pertik rebus,” sebut LK Ara.
Dilanjutkannya, ure-ure hampir sama dengan kekitiken. “Ure-ure juga diungkapkan beberapa pertanyaan, tapi ada pertanyaan terakhir. Bedanya, ure-ure lebih panjang pertanyaannya, baru dijawab. Saer sendiri lebih bernuansa keagamaan, media dakwah, menguatkan syiar Islam. Saer terpanjang ditulis orang Gayo, oleh Tgk Mude Kala. Beliau menulis “Sejarah Gayo” dalam bentuk saer,” sebutnya.
Sebuku, jelas LK Ara, merupakan seni meratap. “Pembawa sebuku yang mempunyai suara merdu, lirik-liriknya mengena, seperti saat perpisahan. Sebuku berkembang cukup lama di Gayo. Namun, ada bagian-bagian tertentu dari sebuku terhindari dari perkembangan, sebuku mate (meratapi orang meninggal). Saat Islam masuk ke Gayo, sebuku mate dilarang,” aku LK Ara.
Sementara itu, sambung LK Ara, melengkan merupakan pidato adat. “Dua tokoh, mewakili pengantin, saling bertukar pantun, disampaikan dengan bahasa formal. Menariknya, penuh dengan irama. Irama seperti ini memikat hadirin untuk bertahan mendengarkan, bisa sampai 30 menit-1 jam kalau yang ahli,” tuturnya.
Diteruskannya, tep onem, merupakan sindir menyindir dalam group didong. “B menyindir A, A menyindir B. Bahasanya simbolik, seni-sastranya tinggi. Kalau orang awam, tak paham, apa yang disindir,” katanya.
Soal mantra, ungkapnya, dirinya sempat menulis buku Kur Lak-lak. “Kur Lak-lak sebetulnya mantra. Saat kita menjemur padi, pas mulai sore, matahari makin berkurang. Kemudian, diucapkan kur lak-lak, makin yo, makin porak. Sayangnya, puisi ini kurang dikenal. Kurang diminati mungkin pada saat itu,” pungkas LK Ara.
Di Kur Lak-lak, sambungnya, ada manat ku koro (pesan buat kerbau). Manat ku koro bisa ditemukan dalam didong peruweren Ceh Daman. “Ceh Daman sempat menceritakan bagaimana lahirnya puisi peruweren tersebut. Daman sering ikut kakeknya. Saat pulang, kakeknya menyampaikan mantra tersebut. Daman sangat jeli, membuat didong peruweren tadi. Didong peruweren cermin kehidupan. Ada juga mantra menanam kopi, yang di Gayo disebut siti kewe, yang dipopulerkan Fikar W Eda. Mantra-mantra tadi sederhana, akan hilang, kalau tidak diungkap” ungkapnya.
Aharuddin.
Tidak ada komentar